Melakukan kurban adalah ibadah yang tidak hanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, tetapi juga memiliki aspek sosial. Daging hewan kurban dibagikan kepada orang lain untuk dinikmati pada Hari Raya Idul Adha. Namun, apakah semua daging kurban harus diberikan kepada orang lain, atau bolehkah orang yang berkurban ikut menikmati daging tersebut?

Dalam artikel NU Online berjudul ‘Seberapa Banyak Pekurban Boleh Mengonsumsi Daging Kurbannya?’, disebutkan bahwa bukan hanya diperbolehkan, orang yang berkurban juga disunnahkan untuk memakan daging hewan kurbannya dengan tujuan untuk mengharap berkah (tabarruk).

Anjuran untuk menikmati daging kurban ini juga disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 36 yang artinya: “Maka makanlah sebagiannya dan berilah makan pada orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan pada orang yang meminta-minta. Demikianlah kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur”.

Berdasarkan ayat tersebut, mengonsumsi daging kurban adalah anjuran bagi orang yang berkurban. Para ulama mengartikan perintah ini sebagai anjuran, bukan kewajiban. Oleh karena itu, disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sedikit daging hewan kurbannya dengan tujuan mendapatkan berkah (tabarruk). Kesunnahan ini hanya mencakup satu atau dua suapan, tidak lebih dari tiga suapan. Selebihnya, daging kurban tersebut sebaiknya disedekahkan kepada orang lain, baik fakir miskin maupun orang yang berkecukupan. Hal ini dijelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in.

“Wajib menyedekahkan kurban sunnah, meskipun hanya pada satu orang fakir, dengan daging yang mentah, meskipun hanya sedikit. Hal yang lebih utama adalah menyedekahkan keseluruhan daging kurban kecuali satu suapan dengan niatan mengharap berkah dengan mengonsumsi daging tersebut. Hendaknya daging tersebut dari bagian hati. Hendaknya orang yang berkurban tidak mengonsumsi lebih dari tiga suapan.”

Namun, ketentuan mengenai dibolehkannya dan anjuran untuk mengonsumsi hewan kurban hanya berlaku jika kurban tersebut adalah kurban sunnah.

“Berbeda dengan kurban wajib seperti kurban nazar, di mana orang yang berkurban tidak diperbolehkan memakan daging hewan kurbannya, bahkan sedikitpun. Seluruh daging kurban tersebut harus diberikan kepada fakir miskin,” jelas Ustadz M. Ali Zainal Abidin dalam artikel yang dikutip dari NU Online pada Jumat (30/6/2023).

Bagian untuk panitia kurban

Bagaimana dengan panitia kurban yang bertugas mengelola hewan kurban, mulai dari penyembelihan, pengulitan, pemotongan, hingga pembuatan paket daging? Apakah mereka berhak mendapatkan daging kurban sebagai upah kerja? Wakil Sekretaris LBM PBNU, Ustadz Alhafiz Kurniawan, dalam artikelnya di NU Online yang berjudul ‘Hukum Pengambilan Jatah Daging atau Kulit oleh Panitia Kurban’, menjelaskan bahwa panitia kurban tidak berhak menerima upah berupa bagian hewan kurban (baik kulit, daging, maupun bagian lainnya) dari orang yang berkurban sebagai upah.

Terkait hal ini, orang yang melakukan ibadah kurban perlu menyediakan dana atau barang berharga lainnya sebagai upah bagi panitia kurban, di luar daging atau kulit hewan kurban. “Namun, jika orang yang berkurban memberikan daging atau kulit hewan kurban kepada panitia yang juga bertugas sebagai tim jagal dengan niat sedekah, maka pemberian tersebut diperbolehkan,” jelasnya.

Ustadz Alhafiz menekankan bahwa orang yang berkurban tidak boleh memberikan bagian dari hewan kurbannya kepada tim penyembelih atau panitia sebagai bentuk upah. Namun, panitia kurban berhak menerima daging atau kulit hewan kurban jika diberikan sebagai sedekah, bukan sebagai upah kerja, oleh orang yang berkurban.

Mari kita berbagi kebahagiaan Idul Adha dengan bergabung dalam berkurban sapi kolektif senilai 2.750.000 bersama NU Care-LAZISNU Bali! Ayo, tunjukkan kepedulian kita dan rasakan keberkahan dalam berbagi dengan sesama. Segera ambil bagian dalam aksi kebaikan ini! Klik di sini untuk berkurban!

sumber: NUOnline